POLITIK SEBAGAI AMANAH: MAKNA IBADAH DALAM DEMOKRASI

oleh : Shaqti Qhalbudien Yusuf (Anggota KPU Kab. Bone Bolango)
 

Politik, Amanah, dan Citra yang Ternodai

Banyak orang Indonesia menjadi sinis setiap kali mendengar kata “politik”, sebagiannya muak, dan sebagian lain memilih apatis. Sebab, politik kerap kali diasosiasikan sebagai dunia yang penuh tipu daya, sarat kepentingan pribadi, dan kotor, di dalamnya dipenuhi dengan perebutan kursi, janji kosong, atau praktik uang yang seringkali mencederai esensi demokrasi.

Namun sejatinya, politik adalah amanah yang dititipkan oleh Tuhan melalui rakyat, yang bila dijalankan dengan benar, bisa menjadi ibadah sosial. Tetapi mari kita jujur: apakah politik selalu kotor, atau manusialah yang mengotorinya?

Politik pada hakikatnya adalah seni mengelola kehidupan bersama, dan di situlah letak amanahnya. Amanah berarti titipan yang harus dijalankan dengan penuh tanggung jawab. Bila amanah ini diselewengkan, politik menjadi alat penindasan. Namun bila dijalankan dengan integritas, politik berubah menjadi ibadah sosial yang menjadi ladang pengabdian nyata untuk kesejahteraan rakyat dan menjaga keadilan.

Politik sebagai Amanah dalam Perspektif Sejarah. Gagasan politik sebagai amanah bukanlah hal baru. Dalam sejarah Islam, Nabi Muhammad

SAW menegaskan:

“Apabila suatu urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran.” (HR. Bukhari)

Hadis ini memberi peringatan bahwa kekuasaan bukanlah hadiah, melainkan amanah. Jika jatuh ke tangan yang salah, kehancuranlah yang menanti.

Abu Bakar Ash-Shiddiq, khalifah pertama, menegaskan hal ini ketika diangkat sebagai pemimpin:

“Aku telah diangkat sebagai pemimpin kalian, padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian. Jika aku benar, bantulah aku; jika aku salah, luruskanlah aku...”

Pidato itu menunjukkan bahwa kekuasaan adalah beban moral, bukan kehormatan pribadi.

Di Indonesia, Bung Hatta memberi teladan serupa. Ia menolak gaji berlebih sebagai pejabat negara karena sadar rakyat masih hidup dalam kemiskinan. Kekuasaan bagi Hatta adalah jalan pengabdian, bukan kesempatan memperkaya diri.

Dari sini kita bisa mengambil i’tibar, bahwa sejarah selalu memberi pelajaran, bahwa politik akan bermartabat bila benar-benar dijalankan sebagai amanah.

Realitas: Politik Uang vs Politik Bersih

Sayangnya, praktik politik di lapangan sering jauh dari nilai amanah. Politik uang masih menjadi luka terbesar demokrasi kita. Menurut survei Indikator Politik Indonesia (2024), sekitar 40% pemilih mengaku pernah menerima tawaran uang atau barang dari kandidat saat pemilu. Sebagian warga bahkan menganggapnya hal biasa.

Namun mari kita renungkan: apakah masa depan bangsa layak digadaikan hanya dengan Rp 50 ribu, sekantong sembako, jilbab atau bahkan selembar sarung?Padahal, suara yang kita jual hari ini akan menentukan arah kebijakan lima tahun ke depan.

Beruntung, ada pula contoh politik bersih. Beberapa kepala daerah dan calon legislatif berhasil terpilih karena rekam jejak dan program, bukan karena membeli suara. Walau jumlahnya masih minoritas.

Kisah ini memberi harapan, bahwa politik yang bermartabat bisa berpeluang menang, asal masyarakat sebagai pemilih sadar bahwa suara adalah amanah, bukan hanya sekedar barang dagangan.

Data Partisipasi Pemilu: Cermin Kesadaran Kolektif

Untuk memahami sejauh mana masyarakat memaknai amanah politik, mari kita lihat data partisipasi pemilu.

Tahun Pemilu Partisipasi Pemilih
2004 78,2%
2009 72,6%
2014 69,6%
2019 81,97%
2024 81-82,4

(Sumber KPU, Litbang, Kompas, Wikipedia)

Data ini menunjukkan tren menarik: setelah menurun di 2014, partisipasi kembali melonjak pada 2019 dan tetap tinggi di 2024. Menurut KPU RI, Pemilu 2024 mencatat 81,78% partisipasi untuk Pilpres dan angka serupa untuk Pileg DPR maupun DPD. Dari 204 juta pemilih terdaftar, sekitar 168 juta benar-benar hadir ke bilik suara.

Artinya, masyarakat Indonesia tidak apatis. Sebagian besar masih percaya bahwa suara mereka penting. Pertanyaannya: apakah partisipasi ini sudah benar-benar mencerminkan kesadaran akan amanah?

Pilkada Serentak 2024: Mengukur Kesadaran Lokal

Jika kita menengok Pilkada Serentak 2024, gambarnya sedikit berbeda. Menurut data KPU RI:

• Partisipasi pemilih rata-rata nasional: 71%

• Pemilihan gubernur: 71,39%

• Pemilihan bupati: 74,41%

• Pemilihan wali kota: 67,74%

(Sumber: KPU RI, Antara, Times Indonesia)

Angka ini lebih rendah dari pemilu nasional. Apakah masyarakat lebih peduli dengan politik nasional ketimbang lokal? Atau apakah pendidikan politik di daerah belum cukup kuat?. Apapun jawabannya, data ini menjadi pengingat bahwa amanah politik harus dijaga, tidak hanya di level pusat, tetapi juga dari tingkatan grassroot yaitu dari desa, kecamatan, kabupaten/kota. Justru di tingkat lokal, kebijakan paling dekat dengan kehidupan sehari-hari rakyat.

Refleksi: Suara sebagai Doa

Setiap kali masuk ke bilik suara, saya merasakan sesuatu yang lebih dari sekadar mencoblos kertas (surat suara). Di ruang yang ditutupi bilik kecil itu, tidak ada saksi, tidak ada tekanan, hanya saya, kertas, dan alat coblos yang beralaskan bantalan. Saat itulah saya sadar bahwa sejatinya, suara adalah doa yang akan menentukan nasib bangsa dalam lima tahun ke depan.

Saya sering bertanya dalam hati: “Apakah pilihan saya ini akan membawa kebaikan bagi orang banyak? Ataukah justru menjadi luka yang diwariskan kepada generasi mendatang?”

Refleksi ini membuat saya semakin yakin bahwa politik bukan hanya urusan elite, melainkan juga urusan hati nurani setiap warga negara. Jika suara kita niatkan sebagai doa, maka politik menjadi ibadah.

Menghidupkan Amanah di Era Demokrasi

Bagaimana agar politik sungguh menjadi ibadah sosial? Ada beberapa langkah yang bisa kita lakukan bersama:

  • Cerdas dalam Memilih, Kenali rekam jejak dan program kandidat. Jangan tergoda popularitas atau janji manis.
  • Menolak Politik Uang dan Hoaks, Menolak amplop adalah cara sederhana tetapi revolusioner untuk menjaga martabat demokrasi.
  • Aktif dalam Non-Tahapan, Demokrasi tidak berhenti setelah pencoblosan. Diskusi publik, literasi politik, dan pengawasan harus terus berjalan.
  • Mengawasi Pemimpin, Warga bukan hanya pemilih, tetapi juga pengawas. Amanah tidak boleh dibiarkan tanpa kontrol.
  • Menggunakan Ruang Digital dengan Bijak, Media sosial bisa menjadi ladang edukasi atau racun demokrasi. Bijaklah dalam menyebarkan informasi.

Kesimpulan: Politik sebagai Jalan Pengabdian

Politik bukanlah sekadar perebutan kursi. Ia adalah amanah yang melekat pada setiap orang entah itu pemimpin maupun warga negara. Setiap suara adalah titipan, setiap kebijakan adalah pertanggungjawaban. Sejarah Nabi, para khalifah, dan tokoh bangsa menunjukkan bahwa kekuasaan adalah beban moral, bukan privilege. Data partisipasi pemilu menegaskan bahwa rakyat Indonesia masih percaya pada demokrasi, meski tantangan politik uang dan rendahnya partisipasi lokal masih senantiasa membayangi.Akhirnya, politik akan menemukan kembali makna sucinya bila kita meniatkannya sebagai ibadah. Dengan begitu, demokrasi bukan hanya prosedur lima tahunan, melainkan jalan pengabdian yang luhur.

“Setiap suara adalah doa, setiap keputusan adalah amanah. Dan sejatinya, demokrasi menjadi ibadah ketika dijalankan dengan penuh kesadaran.”

Bagikan :

facebook twitter whatapps

Dilihat 13 Kali.